0

September Hitam: Sebuah Renungan Kelam Satu Dekade Terakhir

Apa yang terbetik di benak saya selama satu dekade terakhir tentang kondisi global berkutat pada tiga hal: teror, perang, dan propaganda. Tiga hal tersebut adalah ketakutan terbesar umat manusia abad ini selain kelaparan dan kemiskinan. Dunia sedang berada di ambang pintu puncak kejayaan sebuah generasi yang menimbulkan konsekuensi tumbuhnya kompetisi dengan berbagai dimensi yang melatarbelakanginya. Perlombaan dalam berbagai hal telah menggejala sebagai pemicu awal persaingan antarbangsa yang terinspirasi oleh pemenuhan kebutuhan dasar manusia: bertahan hidup.

Perasaan saya terguncang ketika melihat breaking news salah satu stasiun televisi nasional yang menayangkan tragedi runtuhnya Menara WTC oleh dua pesawat yang dibajak oleh teroris di 11 September 2001. Ketika itu saya masih berstatus sebagai siswa SMU kelas 3. Hampir selama seminggu, tragedi itu ditayangkan sebagai topik pemberitaan berbagai media, menjadi bahasan di berbagai forum pembicaraan mulai dari level informal hingga formal. Bagi saya, kejadian itu membuat saya sempat bertanya dalam hati, "Bagaimana mungkin Amerika Serikat yang sangat adidaya, khususnya dalam pertahanan keamanan dan intelijen, bisa dipecundangi dengan mudah oleh teroris (melalui serangan Menara WTC dan Pentagon)?"

Saya sangat bersedih mendengar jatuhnya korban jiwa berjumlah hampir 3000 jiwa, belum termasuk korban luka dan mengalami depresi maupun kerugian material lainnya. Inilah bentuk baru ketakutan di awal milenium ketiga. Perang ideologi yang begitu nyata. Meja perundingan tidak dapat ditengahi lagi oleh para juru damai. Saya merasa dunia sedang sakit, akibat virus ketakutan yang dijejalkan oleh tidak hanya individu pelaku teror, perang, dan propaganda, tetapi juga oleh mereka yang tertawa di balik kesuksesan mereka menghipnotis dunia ke dalam kerangkeng baru. Kerangkeng bernama darah, hitam, kebencian*), yang selanjutnya akan saya sebut sebagai trisula iblis

Tidakkah kita melihat air mata yang harus tertumpah di setiap September berikutnya selama satu dekade terakhir? Korban perang dari berbagai penjuru dunia, baik penduduk sipil maupun militer dari kedua belah pihak mulai dari Irak, Afghanistan, Palestina, dan berbagai belahan dunia lainnya. Korban teror bom bunuh diri, kerusuhan, dan permusuhan di beberapa negara yang meluluhlantakkan nadi kehidupan jiwa-jiwa yang tenang dan damai. Korban propaganda dan kekerasan pemberitaan media yang saling menyembunyikan obyektifitas pemberitaan dan berlindung di balik kepentingan masing-masing pihak yang berkuasa. 

Tidakkah kita harus bertanya pada diri masing-masing, apakah kita telah mengambil sebuah peran untuk menghentikan semua kegilaan ini?

Dunia memang terlahir secara alami untuk menilai sesuatu yang buruk dari kacamata pars pro toto, yang artinya jika satu atau sebagian golongan berbuat kerusakan, maka itu dialamatkan juga kepada golongannya. Misalnya, jika saya mencuri, orang tidak hanya menghakimi dan mencap saya saja sebagai pencuri, tetapi juga pada keluarga dan lingkungan tempat tinggal saya sebagai keluarga pencuri. Padahal faktanya belum tentu anggota keluarga selain saya melakukan hal tercela itu. Parahnya, tidak semua manusia diberkahi kemampuan untuk melihat secara jernih dari kacamata nurani tentang suatu masalah yang belum jelas kebenaran atau kesalahan sumber dan cara penyampaian informasinya. Terlebih lagi masalah dunia yang teramat berat untuk dibedah secara spesifik. Sehingga, yang terjadi adalah ketidaksempurnaan pemahaman setiap orang di dalam menyikapi suatu kejadian, terutama kejadian yang mengaduk-aduk perasaan dan nurani terdalam kita dengan latar belakang apapun yang menjadi bawaan kita sejak lahir. Untuk itu, saya mengedepankan dua senjata yang mungkin bisa menjadi perenungan kita semua termasuk diri saya sendiri sebagai insan yang berpikir.

Saya berpendapat bahwa keterbukaan antarindividu merupakan aset berharga umat manusia saat ini  sebagai senjata pertama untuk mematahkan trisula iblis itu. Keterbukaan artinya kita menyuarakan hati nurani dengan jelas satu sama lain. Apa keinginan masing-masing secara jujur dan apa adanya. Lepas dari kepentingan apapun yang tidak dilandasi kebenaran sejati, kebenaran Ilahiah. Cinta kasih pada sesama hanya lahir dari umat manusia yang takut kepada Sang Pencipta. Ia adalah wujud kedua dari ibadah kepada Sang Pencipta, tidak ada pemisahan makna ibadah ketika kita berbuat baik kepada sesama, dengan ibadah kepada Tuhan. 

Maka, bila ada pelaku teror, makar, perang, dan berbagai perbuatan yang merampas hak asasi dan kemanusiaan, bisa jadi individu tersebut bukan umat yang takut kepada Tuhannya. Ia bukan individu yang agamanya fanatik! Salah besar. Saya berpendapat bahwa individu yang fanatik terhadap keyakinan apapun yang dianutnya adalah individu yang dapat memposisikan dirinya menjadi teladan dan membawa manfaat bagi manusia dan alam sekitarnya. Bukan menjadi individu yang senantiasa berbuat kerusakan di muka bumi, termasuk menjadi penyandang trisula iblis tersebut, seperti yang ditafsirkan berbeda oleh beberapa pihak saat ini.

Senjata kedua untuk memusnahkan trisula iblis adalah berhenti menghakimi. Tak perlu berpanjang lebar, lakukan saja dari sekarang pada diri kita masing-masing.

Kelak kita menyaksikan bahwa kebenaran yang nyata akan datang. Hanya saja, kita tidak tahu kapan kebenaran itu dihadirkan Tuhan di tengah kita. Yang kita pahami saat ini hanyalah bagaimana cara menjadikan lingkungan di sekitar kita aman dan damai, di tengah gejolak politik dan keamanan di beberapa belahan dunia, dari Asia hingga Afrika. Yang kita sadari saat ini hanyalah bagaimana cara menjadikan lingkungan di sekitar kita berkecukupan dan berkelimpahan, di tengah gejolak ekonomi yang melanda beberapa belahan dunia dari Amerika hingga Eropa. Yang kita yakini saat ini hanyalah bagaimana cara menjadikan lingkungan di sekitar kita tidak memuntahkan amarahnya melalui beraneka ragam bencana alam yang mengancam beberapa belahan dunia dari Kutub selatan hingga Kutub Utara.

Mari berkabung atas nama rentetan tragedi kemanusiaan satu dekade terkini, seraya memanjatkan doa untuk dunia dan masa depan yang lebih baik.

*) diambil dari judul lagu salah satu band favorit saya: Burgerkill, band asal Ujung Berung, Indonesia.



0 komentar:

Posting Komentar

Back to Top