2

Cerita Bang Kimung: Idealisme Dari Lapak Majalah


Suatu kebanggaan bagi saya untuk berbagi cerita tentang wajah-wajah yang mengalihkan sempit dunia saya menuju dimensi lain yang lebih luas. Sudut pandang menarik dari sisi yang berbeda. Tiga jam yang lalu, saya berkesempatan mengulas kisah seorang pemilik lapak majalah tempat saya membeli rutin majalahnya setiap bulan, atau sekedar ngaso membolak-balik majalah dan koran yang dipajang di lapaknya sepulang dari perjalanan bermotor yang melelahkan dari kantor menuju kos-kosan saya di Bintaro. Lapak kecil itu oase bagi saya, dan hebatnya pikiran saya selalu segar selepas saya menyudahi kunjungan saya ke sana.


Nama panggilannya Kimung. Saya mengenalnya dengan sapaan "Bang Kimung". Sampai saat ini saya belum berusaha mencari tahu siapa nama aslinya, karena sejak awal perkenalan beberapa bulan silam, ia meminta untuk disapa dengan nama panggilan familiarnya itu. Bukan dengan nama lain. Bapak satu anak ini selalu sabar menanti kedatangan pembeli koran dan majalah dengan setia. Setidaknya, setiap kali saya melewati lapaknya ketika beroperasi, saya melihat Bang Kimung duduk di bangku kecil kesayangannya di samping lapaknya. Bila menyempatkan diri mampir, Bang Kimung selalu antusias menanyakan keperluan para konsumennya, terutama majalah atau koran yang sering mereka beli. Tak jarang, obrolan ringan berdurasi lima menit menjadi basa-basi yang menyenangkan dan membuat saya selalu ingin kembali ke lapak itu setiap kali majalah dan tabloid favorit saya terbit.

Seperti hari-hari biasanya, Bang Kimung menghampiri saya ketika saya membolak-balik majalah yang dipajang rapi di dinding tripleks lapak kecilnya. Malam tadi, wajahnya sedikit pucat. Bang Kimung mengaku pilek yang baru dirasakannya hari ini. Sambil membuka obrolan dan mengambil dua majalah untuk saya beli, saya menyodorkan uang kertas nominal 50 ribu dan 20 ribu untuk membayar majalah yang saya beli. Seketika itu, saya langsung meminta waktu Bang Kimung untuk berbagi pengalaman sembari memotret dirinya bersama lapak yang sudah ditempatinya berjualan sejak tahun 2002. Bang Kimung menyanggupinya dan percakapanpun dimulai.

Saya (S)                 : Bang Kimung, gimana ceritanya waktu mulai dagang majalah? Modalnya dari mana?
Bang Kimung (K)  : Waktu itu saya mulai dagang majalah tahun 2002. Modalnya sendiri. Dulu buat beli lapak habis 1,5 jutaan, buat modal 1,5 jutaan.

S  : Kenapa abang milih dagang majalah? Sebelumnya sempat kepikiran mau kerja di mana, bang?
K : Waktu itu habis kerusuhan (1997-1998), cari kerjaan nggak tentu. Pas ada teman yang nawarin buat dagang majalah, saya tertarik. Awal dagang diajarin teman, dari awal sampai akhirnya saya bisa megang sendiri. Waktu itu saya belanja mulai dari Senen. Tapi kejauhan, akhirnya nyari di sekitar Blok M. Belakangan, saya akhirnya nemu yang deket, di daerah Organon. Sampai sekarang saya ngambil barang dari sana.

S  : Omzetnya gimana bang?
K : (menghela nafas) Wah kalo omzet sekarang makin lama makin turun. Nggak tau juga penyebabnya. Dulu, kalo 700 (ribu) sampe 1 juta sehari masih dapet. Sekarang boro-boro segitu, 300 ribu sehari udah bagus. Ibaratnya, kalo kondisi sekarang ini, bekal buat makan sehari-hari aja. Ya, emang sih saya akui dari usaha ini bisa punya motor, bisa berkeluarga. Tapi belakangan dari pendapatan lapak saya ini bisa ngidupin 80% kebutuhan keluarga saya. Sisanya dibantu orang tua. Ibarat kata, 3-4 tahun belakangan ini untuk nyambung hidup aja mas. Tapi syukur masih bisa biayain anak istri dari usaha ini.

S  : Semisal ada modal lebih, pengennya alih usaha atau ngembangin usaha yang sekarang, bang? Apa alasannya?
K : Kalo ada modal lebih, saya pengennya nggak di sini lagi. Berenti dagang. Cita-cita saya pengen bikin sekolahan, mas. Ya walaupun cuma TK atau tempat ngaji yang terendah tingkatannya. Alasannya, kalo di pendidikan kita bisa ngamalin ilmu yang kita punya, ada manfaatnya buat masyarakat. Ilmu kita juga mau nggak mau bakal nambah dengan sendirinya. Kan malu sama muridnya kalo ilmu gurunya nggak nambah-nambah. (tertawa)


S  : Keren juga tuh bang, cita-citanya. Terus gimana caranya biar usaha abang yang sekarang tetap eksis? Ada triknya nggak, bang?
K : Namanya pedagang, rata-rata triknya sama. Kalo saya sih yang utama itu ramah sama pelanggan. Kalo perlu, kita apal pelanggan kita mau beli apa. jadi, sebelum mereka nanya, kita udah nawarin duluan majalah yang biasanya mereka cari. Misalnya nih, ada pelanggan saya yang tiap ke sini belinya majalah tertentu, saya langsung nawarin majalah itu. Kalaupun yang dicari belum ada, saya selalu nyimpan nomer hape pelanggan. Kalo udah datang langsung saya kabari lewat sms. Jadi, pelanggan bakal senang sama pelayanan kita.

Saya kagum dengan jawaban-jawaban Bang Kimung. Cita-cita dan idealismenya ternyata sangat mulia. Walaupun sederhana, Bang Kimung masih menunjukkan minat besarnya untuk menata masa depan yang lebih baik, salah satunya dengan mengabdikan diri pada pendidikan. Sekalipun usianya tidak lagi muda, semangat pantang menyerahnya memberi saya energi baru untuk menghidupkan hidup saya. Di akhir pertemuan, saya menawari Bang Kimung untuk berpose di depan lapak yang menempanya selama hampir 10 tahun menjadi sosok pria ulet dan tangguh di tengah hiruk pikuk gerak dinamis kota. Salut!








2 komentar:

NSRB mengatakan...

wah.... ini baru post asyik buat dibaca.... singkat, ga bosan dibaca dr awal sampe ke bawah.... inspiratif... :D
btw, ga diceritain cerita dy bolak balik bawa helm pelanggan yg ketinggalan itu?
*post komen sambil kipas2 raket nyamuk listrik

Didik Yandiawan mengatakan...

makasih sya, kebetulan udah lama pengen nulis kehidupan orang2 di ibukota. mulai dari tukang parkir, tukan semir sepatu, pengamen, dll. pokoknya apa aja yg penting bukan pengangguran. hehe.

o iya, yg helm itu lupa diceritain. dah malam waktu nulis ini. jadinya ngga kekumpul idenya.

Posting Komentar

Back to Top